Kesenangan memakai gawai di kalangan siswa memberi tantangan tersendiri bagi guru dalam mengajarkan bahasa Indonesia. Teks-teks yang menyebar di media sosial tidak tertulis sesuai kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Disisi lain, siswa cenderung memandang materi tata bahasa sebagai sesuatu yang membosangkan.
Karena itu, sejumlah guru Bahasa Indonesia perlu menyisipkan materi tata bahasa ketika membahas sebuah teks. Cara ini membuat pelajaran tata bahasa dan pemahaman teks sebagai satu kesatuan sehingga siswa bisa melihat langsung penerapannya di dalam cara membaca dan menulis.
Mayoritas siswa sekarang mendapat bahan bacaan dari media sosial. seperti blog, laman facebook, pesan-pesan yang disebarkan di Whatsapp, dan cerita pendek yang diunggah ke aplikasi Line. Siswa menggemari teks media sosial ini karena isinya lekat dengan kehidupan remaja, seperti cerita asmara, kegalauan, dan berbagai hobi.
Yang menjadi masalah adalah teks di media sosial cenderung merujuk bahasa lisan dan menabrak tata bahasa, misalnya banyak kesalahan antara bentuk pasif dan kata depan 'di'. Struktur kalimatnya juga tidak tertib.
Hal itu dapat berimbas pada cara menulis teks seperti tugas sekolah dan esai. Minat membaca informasi dari media sosial tak berbanding lurus dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kepedulian berbahasa yang benar harus ditunjukkan semua guru mata pelajaran.
Bahasa Indonesia sejatinya mencakup kehidupan dan materi pelajaran. Dalam pelajaran matematika, contohnya, soal cerita harus dijabarkan dengan kalimat logis. Guru jangan hanya memperhatikan ketepatan siswa menghitung angka, tetapi juga memperhatikan penuturan tertulis siswa. Sumber bacaan kini ada ada dimana-mana. Kuncinya adalah kejelian dan metode guru mengajarkan cara bertutur, menulis serta memahami teks dengan benar.
Beberapa siswa mengakui, Bahasa Indonesia merupakan pelajaran yang cukup sukur untuk dikuasai karena tata bahasa dan kosakata yang rumit. Padahal, bahasa Indonesia amat penting dalam berkomunikasi. Tata bahasa yang dipelajari cukup rumik, misalnya tanda baca. Pasalnya penempatan tanda baca yang tidak langsung mengubah arti sebuah kalimat.
Misalnya, kapan kata dasar 'ajar' bisa berubah jadi belajar, mengajar, diajar, mempelajari, pelajaran, pembelajaran, dan lain-lain. Kenapa imbuhan itu yang harus dipakai dan kapan memakainya ?