Pentingnya Literasi Emosi bagi Pengguna Media Sosial

Begitu banyaknya ujaran kebencian di media saat ini dinilai lebih dipengaruhi oleh faktor emosi masyarakat saat menanggapi kemajuan teknologi.  Oleh karena itu, selain literasi media yang mengedepankan rasionalitas, literasi emosi menjadi penting untuk mengendalikan perilaku negatif saat menggunakan media sosial.

Pentingnya Literasi Emosi bagi Pengguna Media Sosial


Perkembangan telnologi informasi digital di Indonesia berjalan dengan pesat, sementara orang Indonesia kurang dapat mengimbangi kemajuan tersebut. Hal ini kemudian yang menciptakan  konsumerisasi informasi. Kita semua punya realitas yang nyata, tetapi kalau dihadapkan di komputer  bingung. Ini mungkin yang menjadi alasan orang gampang menghina dan memaki di media sosial karena yang dihadapi layar, bukan orang. (Karlina Supeli/kompas.id/22/04/2018).

Dunia digital saat ini lebih dipengaruhi oleh aspek faktor emosional dibandingkan nalar atau rasionalitas. Pada hakikatnya, faktor emosional seperti hasrat merupakan hal yang mengendalikan nalar atau rasionalitas. Dengan demikian, literasi emosi menjadi penting di samping melakukan literasi media yang mengedepankan aspek rasionalitas. Bisa dilihat kata-kata kunci yang kerap kita temui di media sosial antara lain sebarkan, viral, teruskan, dan lain-lain. Itu hal yang sangat emosional (Karlina).

Sepandar Kamvar dan Jonathan Harris meluncurkan mesin pencari untuk menjaring ungkapan-ungkapan emosional di internet. Dalam lima tahun, mesin tersebut menemukan 14 juta ungkapan dan setiap hari jumlah tersebut bertambah 15.000-20.000 ungkapan.

Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah dalam setiap diri manusia. Dari sisi luhur, manusia ingin saling berinteraksi, berkomunikasi, dan terhubung dengan orang lain. Adapun dari sisi sebaliknya, manusia ingin terkenal, ingin dipuja dengan menyebarkan informasi, entah informasi tersebut benar atau tidak.

Dari fenomena ini muncul yang namanya ekonomi perhatian. Sesuatu menjadi dianggap lebih bernilai diukur dari seberapa banyak jumlah klik di situs media sosial. Semua ini menjadi sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk dalam hal politik. Pihak mana pun dalam politik dapat memanfaatkan keadaan di media sosial saat ini. Oleh karena itu literasi emosi, ketika orang dapat mengendalikan emosi dalam politik, menjadi penting karena demokrasi yang sehat berasal dari emosi yang sehat (karlina).

Perilaku masyarakat di media sosial saat ini tidak dapat dipisahkan dari faktor emosinya. Emosi dan rasa yang dialami ketika berada atau menggunakan teknologi adalah nyata. Yang berbeda adalah ruang dan waktu dari dunia virtual tersebut (Dinita/kompas.id/22/04/2018).

Perkembangan teknologi saat ini juga berkontribusi terhadap menguatnya polarisasi atau terpisahnya pandangan di antara masyarakat. Hal itu disebabkan fenomena yang disebut dengan filter bubble, yaitu pengguna media soaial hanya akan melihat apa yang serupa dengan profil pengguna, sesuai dengan kesukaannya. Hal ini salah satu manfaat dari kehadiran kecerdasan buatan, yaitu fitur deep learning (Dinita).

Mayoritas pengguna internet menyerahkan identitasnya secara sukarela kepada internet. Sejumlah data ini sangat berharga dan dapat dengan mudah dibuat menjadi konstruksi identitas individu. Contoh ketika kita menggunakan media sosial, platform tersebut dapat dengan mudah mengonstruksikan identitas anda sebagai penyuka, misalnya, filsafat, sepak bola, penyayang kucing, dan lainnya.

Selanjtnya feed atau tautan yang akan diberikan kepada Anda lebih banyak yang terkait dengan identitas Anda, terlepas itu benar atau salah.  Fenomena ini dapat memperkuat polarisasi dalam hal politik, bahkan suku, ras, agama, dan antargolongan. Di media sosial, orang hanya disuguhi pandangan politik yang mirip dengan pandangan orang tersebut. Dengan demikian, masyarakat semakin tidak terbiasa menghadapi perbedaan.

Hal ini diperburuk dengan adanya bot atau mesin di internet yang semakin banyak digunakan oleh politisi untuk mengubah opini masyarakat. Masih banyak masyarakat yang kesulitan membedakan bot dan akun asli, membuat bot lebih muda menggunakan pengaruhnya untuk mengubah identitas politik masyarakat (dinita).

Kegalauan penggunaan media sosial justru berada di wilayah yang infrastruktur internetnya telah maju. Dari seluruh pengguna gawai di Indonesia, hanya 5 persen yang melakukan validasi terhadap berita informasi yang ia dapat sebelum informasi tersebut disebarkan kembali. Literasi yang perlu dilakukan tidak hanya yang bersifat kognitif, tetapi juga literasi yang bersifat emosional. Pemblokiran beberapa akun-akun provokatif dan penebar hoaks diperlukan, tetapi diperlukan juga tindakan lain, seperti edukasi (Wisnuhardana, kompas.id/22/04/2018).

logoblog
Previous Post
Posting Lebih Baru
Next Post
Posting Lama

Post a comment

Copyright © Manajemen Sekolah. All rights reserved.