Pendidikan yang berkualitas dan inklusif harus dapat dinikmati semua anak. Tidak pantas ada seorang anak pun tertinggal di belakang dalam menikmati akses dan layanan pendidikan yang berkualitas. Itu penting untuk meraih masa depan yang lebih baik. Hal ini disampaikan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunai Darussalam Vincent Guerend dalam peluncuran program Mendorong Inisiatif yang dipimpin oleh Masyarakat Sipil untuk Pendidikan yang inklusif dan Berkualitas di Indonesia (Pro-InQlued). (kompas.id/20/05/2018).
Pendidikan penting bagi hidup seseorang. Apalagi, bagi Indonesia, peningkatan sumber daya manusia kini jadi perhatian penting. Uni Eropa jadi salah satu mitra terbesar yang mendukung pendidikan di Indonesia. Total bantuan mencapai 350 juta euro atau sekitar Rp 5,7 trilliun. Lebih dari 55.000 sekolah dan 7 juta siswa di 108 daerah mendapatkan manfaat langsung dari bantuan Uni Eropa.
Fokusnya meningkatkan standar kualitas pendidikan, menurunkan tingkat putus sekolah, serta meningkatkan akses untuk siswa perempuan dan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah yang inklusif [1].
Pendidikan bermutu di daerah masih menghadapi tantangan. Berdasarkan kajian, perbaikan ruangan kelas/sekolah rusak belum jadi prioritas Sebagian anak masih belajar di sekolah yang tidak aman dan layak. Apalagi layanan pendidikan bagi anak anak berkebutuhan khusus masih jauh dari memadai. Ini menunjukkan kondisi pendidikan belum sepenuhnya berkomitmen pada kualitas dan inklusif [2].
Dukungan Uni Eropa bagi peningkatan inklusif dan kualitas di berbagai daerah masih ditemukan persoalan yang belum bisa diselesaikan karena keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran. Kondisi pendidikan dasar dan menengah masih belum sesuai harapan. Karena itu, masukan dari masyarakat sipil dan partisipasi dibutuhkan guna perbaikan kebijakan dan implementasi pendidikan.
Berdasarkan bukti di lapangan, penyerahan kewenangan pendidikan ke daerah belum sepenuhnya berhasil. Kemampuan daerah untuk memahami, sebelum mengeksekusi, kebijakan yang disusun di Jakarta masih lemah belum bisa dipahami dengan pas [3].
Kapasitas SDM bidang pendidikan di daerah masih rendah, Misalnya, untuk kebijakan Kurikulum 2013, dinas pendidikan tidak mengerti bagaimana melaksanakannya. Katanya kurikulum 2013 untuk mengakomodasi kecakapan abad 21. Nyatanya banyak SD yang membaca dan menulis saja belum bisa. Partisipasi masyarakat memang dibutuhkan dan banyak bukti lebih berhasil daripada yang dilakukan pemerintah lokal. Namun, seringkali partisipasi masyarakat ini minim dukungan anggaran dan kebijakan [3].
----------------------------------
1. Vincent Guerend (Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunai Darussalam) kompas.id/20 /05/2018.
2. Fransisca Fitri (Direktur Eksekutif Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia) kompas.id/20/05/2018.
3. Eka TP Simanjuntak (Direktur Eksekutif Yayasan Sejati) kompas.id/20/05/2018.