Patahan Palu-Koro gempa Bumi, Tsunami dan Likuifaksi

Pada jumat (28/9/2018) sore kota Palu dan Donggala, Sulawesi Tangah dilanda gempa yang disusul Tsunami. Gempa yang berkekuatan M 7,4 yang dikoreksi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geopisika (BMKG) mengguncang Kota Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah pada pukul 18.02.44 WITA. Pusat gempa berada di kedalaman 11 kilometer (km) dan berjarak 26 utara kota Donggala.
 

Patahan Palu-Koro  gempa Bumi, Tsunami dan Likuifaksi
Gambar : kompas.id

Palu dan Donggala telah lama diketahui sangat rentan gempa dan tsunami. Sebanyak 14 tsunami terjadi di kawasan sesar Palu-Koro dari tahun 1820 hingga 1882. Sedangkan sejak 1927 hingga tahun 2001, telah terjadi enam kali tsunami di kawasan ini. Seluruh kejadian tsunami dikawasan ini bersumber dari aktivitas gempa  patahan Palu-Koro, zona subduksi di utara Sulawesi, dan jalur sesar di Asternoster. [1]

Sejak 1990-an, patahan Palu-Koro telah memicu tiga tsunami, yaitu pada 1 Desember 1927 di Teluk Palu, 14 Agustus 1968 di Teluk Palu, dan 1 Januari 1996 di Simuntu-Pangalaseang. Semua sumber gempa yang memicu tsunami ini berada di dekat pantai barat Sulawesi Tengah. Tiga tsunami lainnya dipicu gempa yang terjadi di patahan Pasternoster, yaitu 11 April 1967 yang melanda Tinambung, 23 Februari 1969 melanja Majene, dan 8 Januari 1984 melanda Mamuju.

Tsunami di zona ini merupakan yang paling sering terjadi di Indonesia yang tercatat. Rata-rata 25 tahun sekali terjadi tsunami. Ini karena pergerakan geologi Pulau Sulawesi yang sangat aktif. Sulawesi yang berada tepat di jantung Nusantara, terbentuk dari tumbukan tiga lempeng dunia, yaitu Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Jejak tumbukan ini menorehkan jalur-jalur patahan di sekujur pulau dan sebagian menerus hingga lautan.

Jalur patahan Palu-koro yang membela pulau Sulawesi dari Teluk Palu ke Teluk Bone memiliki pergerakan sangat cepat, yaitu 41-45 milimeter per tahun. Kecepatan gerak patahan ini empat kali lebih cepat dibandingkan sesar Sumatera sebesar 10 mm pertahun, apalagi jika dibandingkan pergeseran sesar di Jawa yang hanya 3 mm per tahun.[2].

Patahan Palu-Koro  gempa Bumi, Tsunami dan Likuifaksi
Sumber : kompas.id

Sesar Palu-Koro merupakan patahan dengan pergerakan terbesar kedua di Indonesia, setelah patahan Yapen, Kepulauan Yapen Papua Barat, dengan pergerakan mencapai 46 milimeter pertahun. Sesar Palu-koro adalah daerah yang rawan gempa, dimana kota Palu berkembang diatasnya. Ativitas sesar Palu-koro sangat kecil kemungkinannya untuk menimbulkan tsunami karena aktivitasnya yang hanya saling menggeser terutama terjadi di darat.[3]

Bagian tengah zona sesar Palu-Korodari Sigi ke Kota Palu tersusun oleh endapan sedimen berumur muda yang belum mengalami  konsolidasi atau pemadatan sehingga sangat rentan mengalami likuifaksi jika terjadi gempa. Jika ada gempa besar daerah-daerah zona ini dapat mengalami amblas.[4]

Likuifaksi terutama terjadi di daerah Petobo yang menyebabkan ratusan rumah tertimbung lumpur hitam tiga hingga lima meter. Tidak lama setelah gempa, tanah didaerah itu berubah menjadi lumpur yang menyeret bangunan-bangunan diatasnya. Jejak likuifaksi dari bekas gempa-gempa di masa lalu ditemukan sekitar Palu-Sigi. Namun temuan  itu nyaris tak menjadi perhatian.

Likuipaksi atau tanah mengalir terjadi ketika goncangan gempa meningkatkan tekanan air tanah dan membuat partikel tanah yang berpasir berubah karakteristik menjadi seperti cairan dan bergerak mengalir. Secara ilmiah diartikan hilangnya kekuatan lapisan tanah pasir lepas akibat kenaikan tekanan air pada saat gempa bumi kuat dengan durasi lama.[4]

Patahan Palu-Koro  gempa Bumi, Tsunami dan Likuifaksi

Likuifaksi bisa terjadi akibat berbagai macam goncangan yang kuat, seperti gempa tektonik, gempa vulkanik, dan gempa akibat uji coba nuklir bawah laut. Likuifaksi sifatnya tidak menghancurkan bangunan tetapi lebih merusak fondasi dari bangunan sehingga tidak jarang bangunan menjadi miring ataupun tumbang. Wilayah yang sudah pernah terdampak likuifaksi memiliki kemungkinan mengalami kejadian yang sama ketika terjadi goncangan yang kuat.

Likuifaksi tidak bisa dideteksi sebelum goncangan gempa terjadi kecuali melalui penelitian dan investigasi khusus didaerah sasaran. Investigasi dilakukan untuk mengetahui uji profil kepadatan lapisan tanah, jenis tanah, tebal tanah, serta muka air tanah. 

Dari hasil survei sosial tentang persepsi dan pengetahuan masyarakat terkait ancaman gempa dan tsunami. Hasilnya sebagain besar masyarakat di kota Palu tidak mengetahui ancaman bencana dan tidak  bersiap untuk menhadapi kemungkinan terjadinya gempa dan tsunami.

---------------------------
[1] Geger Prasetyo : Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia/ (Kompas.id/30/09/2018).
[2] Mudrik Rahmawan Daryono: Peneliti bumi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (kompas.id/30/09/2018).
[3].https://sains.kompas.com/read/2018/09/29/
[4] Adrin Tohari (Peneliti likuifaksi Geoteknologi LIPI) kompas.id/02/10/2018.
      -------------------------------------------------------------- kompas.id/03/10/2018

logoblog
Previous Post
Posting Lebih Baru
Next Post
Posting Lama

Post a comment

Copyright © Manajemen Sekolah. All rights reserved.